Film detektif jarang ditemukan di sinema Indonesia. Kabut Berduri (2024) karya Edwin pun menjadi angin segar. Bersama Putri Marino sebagai karakter utama, film ini mengajak kita menelusuri sesaknya hutan dan permainan politik lahan di Kalimantan. Riset dan latar belakangnya menarik, sayang penceritaannya agak datar.
Pengungkapan misteri dengan atmosfer misterius kerap menjadi kunci dalam film-film detektif. Kemistisan dan tema horor cukup sering juga dicampurkan, layaknya film terbaru Longlegs (2024) atau yang sudah berpamor besar, Se7en (1995). Didukung oleh Netflix, Edwin pun membangun kisah detektifnya sendiri dalam Kabut Berduri dengan kearifan lokal.Ia dengan lantang masuk ke hutan Kalimantan untuk menangkap kisah Sanja (Marino) dalam menyelidiki serangkaian pembunuhan.
Sanja, seorang detektif yang dikirim dari Jakarta, menyelidiki serangkaian pembunuhan kala kepala korban dipotong dari tubuhnya. Anehnya, dalam beberapa pembunuhan DNA kepala korban dan tubuhnya taksesuai. Makin dalam Sanja menyelidiki, makin ia tenggelam juga dalam politik kepentingan, dari polisi yang korup hingga kisah mistis lokal. Sanja pun terjebak dalam dosa masa lalunya yang membuat ia dihinggapi dengan perasaan bersalah dan kebimbangan.
Edwin, sutradara sekaligus penulis skenario bersama Ifan Ismail, mendasari cerita ini dari penelitian Dave Lumenta tentang pembalakan liar di perbatasan Indonesia-Malaysia, di Kalimantan. Sayangnya, pembalakan liar bukan lagi jadi kekhawatiran rakyat Kalimantan mengingat ganasnya pembalakan resmi yang dilakukan oleh pemerintah maupun perusahaan setempat. Konflik film ini pun bergeser ke berbagai isu: permainan lahan, polisi korup, hingga meliputi kepercayaan mistis lokal, yakni = hantu komunis yang gentayangan.
Hal-hal di atas memang jadi pembahasan-pembahasan yang menarik dari film ini. Edwin sebagai salah satu sutradara terunik di Indonesia kembali mengambil cerita yang riskan. Kabut Berduri ini bisa memuaskan penyuka sinema intelek yang ingin menonton cerita-cerita berbobot. Kritik dalam film ini terhadap sumbangnya politik di Kalimantan, atau bahkan semua daerah perhutanan di Indonesia, sebenarnya sudah jadi pengetahuan bagi masyarakat awam. Namun, tetap saja, kritik yang lantang seperti ini cukup untuk mendobrak sinema Indonesia yang terlalu santun.
Hanya saja, bagi film detektif secara konvensional, Kabut Berduri mungkin bukan konten yang menarik. Mengikuti kisah Sanja untuk mengetahui permasalahan di perbatasan Kalimantan serta kehidupan orang-orang Dayak sebenarnya menarik. Kearoganannya dan keras kepalanya dalam menghadapi masalah-masalah di sana juga lumayan atraktif. Sayangnya, pengungkapan ceritanya tidak seheboh masalah-masalah yang dibawa.
Sejujurnya, Sanja bukanlah karakter utama yang menarik. Perangkat-perangkat yang hadir di dalamnya sangat konvensional bagi seorang detektif di perfilman: mulai dari ketangguhan, keras kepala, dan kesombongan masyarakat metropolitan saat memasuki daerah pedalaman. Adanya latar belakang kelam yang menghantui dirinya bisa jadi menarik karena adanya sinisme masyarakat masa kini terhadap polisi. Namun, tetap saja semua itu terasa konvensional. Marino pun takterlalu bersinar dalam memerankan ini.
Dalam segi penceritaan, Edwin terlihat ingin menguatkan atmosfer mistis dalam film ini. Dalam beberapa adegan cukup efektif, terutama saat ditunjukkannya sosok “Ambong” dengan siluet pohon kelapa sawit. Penenunan secara perlahan-lahan dalam pengungkapan cerita memang lazim dalam film-film misteri, tetapi hentakan-hentakan yang berujung kejutan dalam film ini sayangnya terasa datar. Sebab begitu banyaknya memasukkan masalah, akhirannya pun jadi berbelit. Tersangka utama pembunuhan menjadi lebur sebab ia takterasa sebagai antagonis utama. Bagaimanapun, di antara semua kekurangan penceritaannya, Yudi Ahmad Tajudin tampil paling memikat dalam memerankan Bujang.
Keseluruhan, Kabut Berduri menarik karena hal-hal yang dimuat dalam film ini saja. Beberapa tegangan sebenarnya cukup untuk membuat kita mengisi waktu hampir dua jam di depan layar walaupun tampilan artistiknya takbegitu berkesan. Dalam penceritaan pun jelas kita berharap lebih kepada Edwin, sebab film ini takselevel dengan karya-karyanya sebelumnya layaknya Seperti Dendam (2021) dan Aruna & Lidahnya (2018).