Mencuri Raden Saleh bisa dikatakan sebagai proyek paling ambisius sutradara Angga Dwimas Sasongko dan bahkan bagi Visinema. Membahas tentang kisah pencurian yang jarang dilakukan di dunia sinema Indonesia, proyek rumit ini bisa jadi pionir yang merangsang perfilman Indonesia agar lebih eksploratif lagi.
Dua karakter utama dalam film ini ialah Piko (Iqbaal Ramadhan) dan Ucup (Angga Yunanda). Piko merupakan pelukis yang sangat mahir meniru lukisan-lukisan pelukis besar. Sementara Ucup layaknya seorang penyalur yang mahir mengatur strategi dan serbabisa. Kisah bermula saat mereka menerima proyek untuk meniru lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh. Namun, kelanjutannya, mereka justru diminta mencuri lukisan aslinya.
Layaknya film-film pencurian yang kerap tampil di Hollywood, fokus utama cerita, biasanya, ada pembentukan tim, lalu penyusunan strategi yang detail. Angga Dwimas Sasongko mungkin takpunya pengalaman dalam subgenre ini, terlebih lagi literasi film Indonesia yang serupa cukup minim. Dibantu dengan Husein M. Atmodjo, ia coba merangkai apa yang biasa kita lihat dalam film-film serupa, seperti Ocean’s Eleven (2001) dan Baby Driver (2017).
Kemudian, mereka mengatur strategi sembari menyusun tim yang komposisinya dari kenalan-kenalan Piko dan Ucup. Dua penulis skenario merangkai cerita mengenai keawaman karakter-karakternya dalam melakukan pencurian. Strategi mereka pun takterlalu mendetail layaknya film-film pencurian Hollywood. Sasongko mungkin menyadari hal ini. Oleh sebab itu, fokus film pun jika ditilik lagi terlihat bahwa perkembangan karakternyalah yang ditekankan.
Bagaimanapun, hal yang membuat film-film pencurian menarik, biasanya, strategi superdetail yang pada akhirnya terwujud serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi karakternya hingga mereka perlu melakukan improvisasi menarik. Cara karakter dalam menyelesaikan rintangan-rintangan itu pun jadi keasyikan tersendiri untuk disaksikan.
Penyusunan strategi dan penerapannya masih menjadi salah satu daya tarik dalam film ini. Sayangnya, dalam strategi tersebut masih banyak lubang dan ada beberapa tindakan yang mungkin sulit diterima dalam penerapannya. Salah satunya ialah adegan di terowongan kala rencana pencurian pertama mereka gagal.
Penyebab kegagalannya seharusnya bisa diperhitungkan atau para karakternya bisa berpikir lebih baik ketimbang reaksi mereka saat itu: ribut dan lari ke mana-mana. Mungkin, reaksi ini diberi tahu jawabannya pada akhir film. Penonton pun mungkin bisa menerimanya mengingat karakter-karakternya yang masih awam perkara pencurian serta emosi mereka yang belum matang dan ceroboh. Namun, tetap saja, hal ini menjadi duri yang mengganjal.
Penyusunan strategi dan penerapannya mungkin masih lemah dalam setengah awal film. Memang, hal ini mengganjal, tetapi Sasongko memang pada bagian ini lebih fokus kepada perkenalan karakternya serta problem mereka, terutama Piko sebagai karakter utama. Selanjutnya, para karakter lainnya diberi waktu layar yang pas untuk mengembangkan koneksi mereka sebagai tim.
Hal ini pun akhirnya jadi fondasi dan senjata untuk bagian kedua film yang terasa lebih matang. Sebab karakternya sudah mendalam, pion-pion ini pun tinggal dimainkan untuk menciptakan resolusi yang dirakit dengan apik oleh Sasongko. Di antara semuanya, kerumitan latar belakang Piko menjadi kejutan utama, di satu sisi menunjukkan kompleksitas karakternya; di sisi lain memberikan kompleksitas serta bumbu keberuntungan sendiri.
Waktu dua setengah jam sebenarnya takbegitu terasa karena cerita yang begitu padat dan intensitas yang tinggi sehingga terasa sangat seru. Mungkin, film ini jadi terlihat ada dua plot karena setengah film pertama dan kedua agak berbeda sehingga sedikit kehilangan fokus.
Keseluruhan, selain film ini jadi proyek terambisius Sasongko dan Visinema, film ini bisa menjadi sarana eksploratif, model baru dalam blockbuster di perfilman Indonesia. Mencuri Raden Saleh merupakan karya terbaik Angga Dwimas Sasongko sejauh ini.