Seperti multisemesta yang terbentang luas, kompleksitas hubungan ibu-anak perempuan terjalin dalam budaya Asia yang kaya akan tradisi dan modernitas. Gambaran ini setidaknya terwujud dalam film Everything Everywhere All at Once (2022). Film ini tidak hanya menyuguhkan petualangan fantastis, tetapi juga menggambarkan pergulatan emosional yang mendalam antara generasi.
Film Everything Everywhere All at Once karya Daniel Kwan dan Daniel Scheinert menawarkan pandangan unik tentang dinamika keluarga Asia-Amerika melalui kisah Evelyn Wang (Michelle Yeoh) dan putrinya, Joy (Stephanie Hsu). Hubungan ibu-anak perempuan yang penuh dengan konflik dan cinta ini menjadi cermin dari tantangan-tantangan yang dihadapi keluarga imigran Tionghoa di Amerika Serikat. Selain itu, film ini menggambarkan proses asimilasi dan akulturasi yang kompleks. Untuk menguraikan dinamika hubungan ibu-anak perempuan yang ditampilkan dalam film ini, penulis mengamati dialog, perilaku, dan konteks budaya yang ditampilkan dalam film, serta mengaitkannya dengan sistem kekerabatan dan interaksi keluarga Tionghoa.
Dinamika Keluarga Tionghoa
Dalam budaya Tionghoa, struktur keluarga dan nilai-nilai yang diturunkan dari generasi ke generasi memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Dewi (2020) menjelaskan bahwa pranata masyarakat Tiongkok menekankan pada hierarki keluarga, dengan kewajiban anak untuk menghormati orang tua mereka. Nilai-nilai ini sering menciptakan tekanan bagi anak-anak generasi kedua yang harus menyeimbangkan antara menghormati tradisi keluarga dan menyesuaikan diri dengan budaya Barat yang lebih individualistik.
Film Everything Everywhere All at Once menggambarkan konflik tersebut melalui karakter Evelyn, seorang ibu yang berusaha mempertahankan nilai-nilai tradisional Tionghoa sambil menavigasi kehidupan di Amerika. Evelyn, yang mengelola usaha penatukeluarga, sering kali menunjukkan keteguhan dalam memegang prinsip-prinsip budaya Tionghoa. Namun, putrinya Joy, yang lahir dan besar di Amerika, memiliki pandangan dan nilai yang lebih dipengaruhi oleh budaya Barat. Konflik antara Evelyn dan Joy mencerminkan perbedaan pandangan dan harapan yang sering terjadi dalam keluarga imigran.
Salsabila dan Nurwianti (2024) menyebutkan bahwa empati menjadi mediator penting dalam hubungan komunikasi keluarga. Dalam film, terlihat jelas bahwa Evelyn berjuang untuk memahami dan menerima keinginan serta kebutuhan putrinya. Ketika Joy mengungkapkan orientasi seksualnya, Evelyn menghadapi dilema antara mempertahankan nilai-nilai tradisional dan mendukung kebahagiaan putrinya. Momen-momen emosional ini menunjukkan betapa pentingnya empati dan komunikasi dalam menjembatani kesenjangan generasi dan budaya dalam keluarga.
Asimilasi dan Akulturasi
Proses asimilasi dan akulturasi keluarga imigran Tionghoa di Amerika juga digambarkan dengan jelas melalui perjuangan Evelyn dalam menjalankan usaha keluarga sambil menghadapi perubahan budaya. Claudarista (2021) menyatakan bahwa impian Amerika sering kali bertabrakan dengan nilai-nilai budaya asal, yang terlihat dalam karakter Evelyn yang merasa terjebak antara harapan tradisional dan realitas barunya. Evelyn, yang berusaha mempertahankan bisnis laundry-nya, menghadapi berbagai tantangan termasuk masalah keuangan dan perbedaan budaya yang mempengaruhi hubungan dengan pelanggannya yang beragam.
Film ini menunjukkan bagaimana Evelyn berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya tanpa meninggalkan sepenuhnya akar budayanya. Adegan ketika Evelyn mencoba memahami dan menerima orientasi seksual Joy adalah contoh dari proses akulturasi yang penuh tantangan. Halim (2019) menekankan bahwa generasi kedua sering kali berada dalam posisi sulit, berusaha menemukan keseimbangan antara identitas budaya mereka dan tekanan dari masyarakat sekitar. Joy, sebagai representasi generasi kedua, berusaha mengekspresikan dirinya dengan bebas, sementara Evelyn berusaha memahami perubahan ini dalam konteks budaya tradisionalnya.
Dalam film, Evelyn dan keluarganya juga menghadapi diskriminasi dan stereotip sebagai imigran Tionghoa. Ini memperlihatkan kompleksitas akulturasi, yakni individu dan keluarga harus mengatasi prasangka dan tantangan sosial sambil mencoba mempertahankan identitas budaya mereka. Daya juang Evelyn menunjukkan betapa sulitnya proses akulturasi bagi imigran yang harus menghadapi tidak hanya perbedaan budaya, tetapi juga ekspektasi dan tekanan dari komunitas asal dan masyarakat baru mereka.
Nilai Budaya dan Peran Ibu
Latif (2004) meneliti peran ibu Tionghoa-Amerika dalam meneruskan nilai-nilai budaya kepada anak-anak mereka. Ibu memiliki peran sentral dalam menjaga dan mengajarkan tradisi keluarga. Evelyn, sebagai ibu, berusaha keras untuk mempertahankan warisan budaya Tionghoa sambil beradaptasi dengan lingkungan barunya. Dalam banyak adegan, Evelyn terlihat berusaha keras untuk memastikan bahwa nilai-nilai tradisional dihormati di rumahnya, seperti menghormati leluhur dan menjalankan tradisi-tradisi Tionghoa.
Adegan-adegan yang menampilkan upaya Evelyn untuk menjaga tradisi keluarga sekaligus mendukung putrinya dalam mengejar kebahagiaan pribadi menggambarkan dilema yang dihadapi oleh banyak ibu dalam komunitas imigran. Daya juang Evelyn untuk memahami dan menerima identitas dan pilihan hidup Joy, termasuk orientasi seksualnya, menunjukkan betapa sulitnya bagi seorang ibu yang terikat oleh nilai-nilai tradisional untuk menyesuaikan diri dengan realitas baru yang dihadapi oleh generasi muda.
Film ini juga memperlihatkan bagaimana Evelyn belajar untuk menyeimbangkan harapan tradisional dengan kebutuhan dan keinginan putrinya. Proses ini tidak mudah dan sering kali penuh dengan konflik dan kesalahpahaman. Namun, pada akhirnya, Evelyn menunjukkan bahwa cinta dan penerimaan terhadap anak bisa melampaui perbedaan budaya dan generasi. Ini menunjukkan bahwa meskipun nilai-nilai budaya penting, fleksibilitas dan empati dalam hubungan keluarga bisa menjadi kunci untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut.
Everything Everywhere All at Once bukan sekadar film tentang petualangan multiverse; ia juga sebuah cermin yang memantulkan kompleksitas hubungan ibu-anak perempuan dalam keluarga Asia-Amerika. Melalui karakter Evelyn dan Joy, kita diingatkan akan pentingnya empati, komunikasi, dan fleksibilitas dalam menjembatani perbedaan generasi dan budaya. Film ini mengajak kita untuk merenungkan bagaimana proses asimilasi dan akulturasi mempengaruhi dinamika keluarga serta pentingnya peran ibu dalam menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas.
Di balik lapisan aksi dan fantasi yang memukau, film ini menawarkan pesan mendalam tentang cinta keluarga yang melampaui batasan budaya dan waktu. Seperti Evelyn yang akhirnya menerima Joy sepenuhnya, kita diingatkan bahwa penerimaan dan pengertian adalah kunci untuk membangun hubungan yang kuat dan harmonis dalam keluarga. Everything Everywhere All at Once bukan hanya sebuah tontonan, melainkan juga pelajaran hidup tentang bagaimana kita bisa saling memahami dan mencintai di dunia yang terus berubah.