Usai film-film unik dan nyeleneh, Yosep Anggi Noen bekerja sama dengan Palari Films untuk memproduksi film horor pertama mereka. Film berjudul Tebusan Dosa (2024) ini dibintangi oleh Happy Salma dan Putri Marino. Cukup menarik mengingat nama-nama yang disebut di atas takterlalu familiar dengan film horor.
Apabila menyebut Yosep Anggi Noen dan Palari, kita akan terpintas dengan film-film unik dengan kualitas apik yang beberapa tahun terakhir mewarnai sinema Indonesia. Hal yang takdiduga ialah keduanya berkolaborasi membuat film misteri-horor, ranah yang cukup segar bagi kedua nama tersebut. Dua aktris utamanya pun menarik, Happy Salma dan Putri Marino yang tidak identik dengan dunia horor Indonesia.
Palari dan Marino memang sudah bekerja sama dalam film misteri dan sedikit bumbu horor dalam Kabut Berduri (2024) karya Edwin. Namun, film tersebut jauh dari horor konvensional Indonesia dengan absennya hantu-hantu tradisional. Kini, keduanya akan bekerja sama dengan Anggi Noen dalam Tebusan Dosa, sutradara yang juga belum dikenal dalam perfilman horor Indonesia.
Di antara nama-nama di atas, hadirnya Happy Salma seperti membawa pengalaman horor yang terlihat kurang dalam film ini. Pengalaman Salma ada pada penampilan kecilnya dalam Siksa Kubur (2024) Joko Anwar dan ia hadir juga di film Primbon (2023) dan Hantu Aborsi (2008). Sebagai bintang utama film ini, pemilihan Salma terlihat tepat sebab ia punya kekuatan dalam raut serius nan misteriusnya.
Misteri dengan Bumbu Horor
Film Tebusan Dosa kisahkan Wening (Salma), seorang ibu yang kehilangan anaknya, Nirmala (Keiko Ananta), dan ibunya, Uti Yah (Laksmi Notokusumo) dalam kecelakaan tunggal. Dalam kondisi hujan lebat, Wening yang memboncengi Nirmala dan Uti Yah, mengambil jalan berbahaya, melewati turunan curam dan jembatan yang di bawahnya mengalir sungai deras. Motor Wening tergelincir, lalu anak dan ibunya jatuh ke bawah jembatan.
Dalam laka tersebut, Wening selamat. Sayangnya, ibunya, Uti Yah, ditemukan wafat. Sementara anaknya, Nirmala, takdapat ditemukan. Jasad Nirmala takkunjung ditemukan usai berhari-hari, tetapi Wening yakin anaknya masih hidup. Kisah miris Wening ini pun membuat Tirta (Marino) tertarik mengundangnya bercerita dalam siniarnya.
Dalam pengisahan, film ini terfokus kepada misteri pencarian Nirmala. Dengan latar di pedesaan Jawa, hal-hal mistis pun dimasukkan. Mulai dari masalah Nirmala yang disembunyikan roh mantan suami Wening hingga ritual penebusan dosa yang harus dilakukan Wening. Bumbu-bumbu ini membuat filmnya terasa otentik, walaupun bukan hal baru di film horor Indonesia. Adegan paling menarik dari film ini ialah ritual pemanggilan Nirmala yang membuat kita teringat terhadap adegan Exhuma (2024).
Sebenarnya, sejak awal Anda sudah bisa menduga-duga misteri dalam film ini. Adanya karakter yang terasa “sangat di luar tempat” membuat intuisi kita mengarah ke karakter tersebut sebagai pelakunya. Namun, dengan keluguan Wening dan pengaruh-pengaruh spiritual yang terhubung dengan masa lalunya yang kelam, kita di bawa ke segala arah dulu sebelum menemukan jawaban dari misteri utamanya. Hal ini terasa wajar mengingat kuatnya kepercayaan kita terhadap hal-hal mistis.
Dengan resolusi tersebut, elemen horor dalam film ini terasa seperti fasad. Penempatan adegannya pun terasa tidak nyaman dan malah membawa film ke arah yang taksesuai dengan akhiran film. Dengan beberapa kegagalan dalam membawa horor ke kisah misteri, rasanya penambahan elemen ini menjadi eksperimen gagal dari Anggi Noen dan Palari.
Bagaimanapun, sebenarnya, penceritaannya menarik dan otentik, walaupun mudah ditebak. Sebagian besar tempo filmnya pun dibawa dengan sabar dan realistis, walaupun di bagian awal terasa tergesa-gesa: hal yang sebenarnya sangat disayangkan bagi Anggi Noen yang selalu sabar dalam menenun tempo film seperti Istirahatlah Kata-Kata (2016) dan Hiruk-Pikuk si Alkisah (2019). Walhasil, Tebusan Dosa masih seperti eksperimen normatif dan malu-malu bagi Palari dan Anggi Noen. Kita berharap adanya eksperimen horor lebih liar lagi mengingat kualitas yang mereka miliki.