Dengan makin banyaknya film yang memanfaatkan properti intelektual dari masa lalu, Twisters (2024) berupaya memanfaatkannya dengan kisah yang lebih modern. Tanpa adanya karakter atau ketersambungan cerita dari film sebelumnya, Twister (1996), film terbaru arahan Isaac Lee Chung ini terasa seperti modernisasi dari film lamanya. Walau tiga dekade telah berlalu, tornadonya masih mengisap sekuat dulu.
Lupakan tentang kisah Jo (Helen Hunt) dan Bill (Bill Paxton) dalam Twister serta perburuan gila mereka mencari tornado. Mungkin, cukup lupakan karakter-karakternya saja. Kisah menggelegar mencari adrenalin di tengah bencana alam mungkin bisa Anda ingat. Sementara itu, jika Anda belum menonton film lamanya, sebenarnya hal ini tidak masalah. Sebab, semua yang ada di film ini baru. Kecuali, sudut pandang aneh yang membuat kita memercayai bahwa tornado merupakan salah satu keindahan alam.
Penanganan proyek yang melupakan film sebelumnya ini terbukti jitu bagi Twisters (2024). Pasalnya, adanya jarak 28 tahun antarfilmnya akan memberikan perbedaan yang signifikan, terutama dalam hal pasar yang disasar. Jika dipaksa mempertahankan keberlanjutan karakter-karakter lamanya, hanya penonton film lamanya saja yang akan mendominasi bioskop. Apalagi, Twister sendiri bukan properti mega, walaupun film pertamanya sukses.
Kini, dengan karakter-karakter baru, masalah sosial baru, dan masalah alam baru, semangat penakluk angin puting beliung kembali dihidupkan untuk mencari pasar baru. Nama Daisy Edgar-Jones dan Glen Powell mungkin bukan nama terbesar di Hollywood sebagai dua karakter utamanya. Namun, begitu pula dengan Hunt dan Paxton dulu, sisi unik mereka justru yang membuat Twister terasa natural.
Edgar-Jones mungkin takterlihat seperti Hunt yang menciptakan Jo: seorang ilmuwan yang bertekad kuat dan berkeberanian tingkat tinggi dengan tampilan layaknya anak kuliahan. Sebagai Kate, Edgar-Jones mewariskan tekad kuat dan keberanian layaknya Jo, tetapi kehadiran keberanian tersebut taksecara absolut terus-menerus hadir dalam film. Adapun upaya modernisasi lahir dari karakter Kate yang diberi masa lalu kelam dalam perburuan tornado sehingga hadir trauma dan kegelisahan pada pertengahan kisah.
Hunt sebagai Jo mungkin salah satu karakter terunik dan tersolid dalam sejarah film bencana alam. Namun, Edgar-Jones sebagai Kate punya perjalanan kisah yang lebih menarik. Kate awalnya seperti takmemiliki rasa takut dan siap menerjang tornado sebesar apa pun. Tewasnya beberapa teman kemudian menumbuhkan rasa takut dalam dirinya dan karakternya menjadi berkembang. Di samping itu, keberanian pun didefinisikan ulang: melawan rasa takut untuk melakukan tindakan nekat demi menyelamatkan orang, seperti halnya Kate.
Sebagai pendamping, Powell sebagai Tyler makin menegaskan kekuatan bintangnya. Tyler hadir seperti karakter-karakter Powell sebelumnya yang karismatik. Kali ini, ia lebih mendalami sisi liarnya dalam menantang tornado. Karakternya juga terasa relevan: seorang pemacu adrenalin yang menantang tornado untuk menayangkannya di YouTube. Perlahan, terungkap sisi humanis Tyler yang membuat posisinya bergeser dari antagonis ke protagonis. Singkatnya, Powell lebih menarik dari Paxton.
Perubahan dua karakter utama ini, dengan paras yang lebih menarik, membuat Twisters lebih “Hollywood” dibanding pendahulunya yang lebih natural. Bagaimanapun, dengan segala latar belakang baru dan relevansi yang dibangun, film ini memberi jaminan kedahsyatan yang serupa atau bahkan melebihi film pertamanya. Sejak awal, kita sudah diberi asupan tornado dengan skala terbesar. Namun, takseperti Twister, film ini takmenjual kebesaran skala besar angin tornadonya, tetapi lebih menekankan kepada dampaknya
Beberapa variasi tornado, seperti tornado kembar, pun ditampilkan. Namun, tornado paling menarik bukan dari besarannya, tetapi percampuran dengan elemen sekitarnya yang menampilkan dampak lebih variatif. Adegan mengerikan sekaligus memesona ini digambarkan saat tornado menghampiri kilang minyak dan menyemburkan api. Ada juga kegilaan lainnya kala Tyler dan teman-temannya meledakkan kembang api ke dalam tornado.
Dengan tornado yang muncul tanpa henti dan takterlalu banyak mengomplikasi cerita, Twisters (2024) rasanya masih menghidupkan nyawa dari Twister (1996). Perlu dicamkan bahwa ini kisah baru dengan target baru dan usaha-usaha relevansinya terasa tepat walaupun permaknya sangat terasa. Sebagai film bencana alam yang “dar der dor”, ada sisi humanis yang masih terjaga dengan apik dari duet Edgar-Jones dan Powell dalam direksi Lee Isaac Chung.