Dengan puisi, musik, mural, dan obrolan di pinggir jalan, anak-anak muda Sudan berhasil menumbangkan rezim otoriter Omar Al-Bashir yang telah berkuasa selama 30 tahun. Akan tetapi, gerakan anak muda tanpa senjata itu pada akhirnya dibunuh oleh kekuatan militer yang berkhianat kepada rakyat.
Begitulah kisah Sudan, Remember Us, film pembuka Festival Film Ajyal 2024 yang berlangsung di Doha, Qatar, pada 16-23 November 2024. Film dokumenter karya perempuan sutradara Hind Meddeb ini membawa penonton pada gelombang protes yang pecah di Sudan pada 2019, yang menyusul gelombang Arab Spring.
Aksi ini awalnya merupakan respons atas kebijakan darurat pemerintah yang mengurangi subsidi sehingga membuat harga-harga kebutuhan pangan dan bahan bakar melambung tidak karuan di Sudan. Kebijakan darurat ini membuat rakyat Sudan makin muak pada rezim otoriter dan korup yang telah berkuasa di negeri Afrika bagian utara itu selama 30 tahun.
Kemuakan rakyat pada rezim ini digambarkan dengan baik oleh Hind lewat percakapan di berbagai lapisan masyarakat. Para ibu berkomentar soal betapa munafiknya ulama yang bersekutu dengan pemerintahan Omar Al-Bashir.
Setiap pengajian mereka mengingatkan orang bahwa mencuri itu haram, tapi mereka sendiri ikut korupsi. Kaum bapak bicara soal sumber daya alam Sudan yang, jika dikelola dengan baik, akan menyejahterakan rakyat.
Pada saat yang sama, anak-anak muda mengingat-ingat lagi kejayaan Sudan di masa lalu yang bebas dan merdeka. Sementara itu, para perempuan aktivis berdiskusi soal doktrin agama yang sengaja dipakai untuk mengekang perempuan.
Obrolan-obrolan itu pada akhirnya menciptakan kesadaran kolektif untuk bergerak melawan kekuatan yang sama, yakni rezim Al-Bashir. Aksi protes pecah di mana-mana, termasuk di ibu kota Khartoum. Dalam setiap aksi, anak-anak muda menuliskan puisi-puisi perjuangan di atas poster, berbalas pantun tentang kebebasan, dan menyanyikan lagu-lagu yang berlirik perlawanan. Aksi yang ramai itu pada akhirnya berhasil menumbangkan rezim Al-Bashir.
Film ini juga mengamplifikasi suara-suara yang menggambarkan keuletan dan kekuatan semangat manusia.
Selanjutnya, anak-anak muda yang memimpikan hidup di alam demokrasi itu menuntut pemerintahan transisi yang dipegang elite militer untuk segera membentuk pemerintahan sipil. Alih-alih memenuhi tuntutan rakyat, militer justru memberangus gerakan itu dengan kejam.
Rekaman kamera Hind berhasil menangkap sebagian adegan pascaserbuan tentara ke tenda-tenda yang didirikan anak-anak muda di tengah kota selama mereka berunjuk rasa. Banyak anak muda yang mati atau dinyatakan hilang dalam peristiwa itu.
Meski film ini bertutur tentang perjuangan melawan penindasan, nyaris tidak ada adegan kekerasan secara eksplisit yang ditampilkan. Hind lebih memilih menangkap semangat, tekad, ketakutan, dan keputusasaan yang dirasakan para aktivis ketika berjuang melawan penindas. Beberapa adegan terasa puitik sehingga kematian dan tragedi relatif indah secara visual.
Hal ini bisa kita lihat dalam adegan ketika sejumlah aktivis menggambar mural wajah temannya yang terbunuh dalam unjuk rasa. Pembuatan mural dilakukan untuk mengenang anak-anak muda yang menjadi martir revolusi. Rasa kehilangan dan kemarahan pada adegan itu hanya ditampilkan lewat tetesan air mata di pipi salah seorang aktivis yang sedang menyapukan kuas pada lukisan mural temannya yang sudah tiada.
Setelah itu, terdengar kalimat-kalimat puitik yang bertutur tentang kebulatan tekad untuk terus melawan penindasan. Pada bagian lain, Hind menyajikan syair-syair puitik yang dinyanyikan anak-anak muda dengan iringan musik hip-hop, musik tradisional, atau sekadar tetabuhan benda-benda.
Tiga lapisan revolusi
Hind membuat film ini selama kurang lebih lima tahun. Ia mengikuti anak-anak muda yang menjadi aktor dalam revolusi Sudan, antara lain Muzamil, Shagan, Maha, dan Khattab. Dari mereka, Hind menangkap tekad anak-anak muda Sudan yang ingin hidup di alam bebas seperti yang pernah dirasakan generasi tua Sudan di masa lalu. Saat itu, masyarakat Sudan hidup damai tanpa prasangka meski suku dan agama mereka berbeda. Tekad itu berkelindan dengan keresahan dan ketakutan mereka terhadap kekuatan militer.
Hind menceritakan protes anak-anak muda itu dalam bingkai tiga lapis gelombang perubahan yang mengawalinya. Pertama, revolusi dalam seni dan puisi di mana anak-anak muda dengan sadar menggali kekuatan puisi, nyanyian, dan musik yang oleh para seniman Sudan di masa lalu telah digunakan untuk menyuarakan perlawanan.
Kedua, gelombang menguatnya kesadaran kaum perempuan Sudan untuk melawan batasan-batasan yang ada di masyarakat patriarki. Ketiga, gelombang obrolan di pinggir jalan yang mengeras menjadi tuntutan massal. Ketiga gelombang perubahan itu bergerak bersamaan dan menyatu di satu titik.
Hind memilih bingkai seperti itu bukan tanpa alasan. Dia menceritakan, jauh sebelum anak-anak muda memicu revolusi pada 2019, rakyat Sudan telah tiga kali melancarkan revolusi, yakni, pertama, saat melawan penjajah Inggris. Selanjutnya, revolusi sipil pada 1965 dan 1985 untuk menuntut penghentian perang saudara di Sudan. Dalam setiap revolusi Sudan, anak muda, perempuan, puisi, dan nyanyian selalu ambil bagian.
Hind menceritakan, dahulu ada seorang perempuan Sudan yang hampir setiap hari datang menengok suaminya yang dipenjara oleh penjajah Inggris lantaran aktivitas politiknya. Dia selalu menyanyikan syair-syair puitik dari jendela penjara untuk mendukung suaminya. ”Jadi, sejak dulu perempuan Sudan memainkan peran dan sangat dihormati. Itu saya temukan sampai sekarang,” tutur Hind, sutradara berdarah Perancis, Tunisia, dan Maroko itu, Minggu (17/11/2024), di Doha.
Film Sudan, Remember Us mendapat sambutan hangat di Festival Film Ajyal 2024. Sejak Sabtu sore, orang-orang yang hadir di Ajyal terus membicarakan film yang pertama kali ditayangkan di ajang film bergengsi itu, yakni Festival Film Venice pada Agustus 2024. Fatma Hassan Alremaihi, CEO of Doha Film Institute and Ajyal Festival Director, menilai Sudan, RememberUs merefleksikan komitmen kita untuk membawa cahaya terang ke wilayah yang sering kali diabaikan.
”Film ini juga mengamplifikasi suara-suara yang menggambarkan keuletan dan kekuatan semangat manusia,” ujarnya.
Festival Film Ajyal, yang tahun ini mengambil tema Moments that Matter, menayangkan 66 film dari 42 negara yang sebagian besar menyuarakan harapan, keberanian, dan daya lenting manusia dalam situasi sesulit apa pun. Sudan, Remember Us yang menyoroti perjuangan tanpa lelah dan rasa takut anak-anak muda Sudan melawan penindasan menjadi semacam menu pembuka yang kuat, sebelum audiens menonton film-film dari negara lain.
Dalam konteks Indonesia, Sudan, Remember Us bisa membangkitkan ingatan kita pada peristiwa Reformasi 1998 yang dimotori mahasiswa. Ketika itu, gelombang protes besar-besaran muncul di banyak kota di Indonesia sebagai bentuk ketidakpuasan rakyat pada pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Gerakan Reformasi di Indonesia berhasil menumbangkan Soeharto dan selanjutnya Indonesia menapaki alam politik yang demokratis.
Jadi, sejak dulu perempuan Sudan memainkan peran dan sangat dihormati. Itu saya temukan sampai sekarang.
Di Sudan, gelombang protes besar-besaran tidak mampu melahirkan pemerintahan sipil karena pengkhianatan kaum militer. Apakah berarti gerakan itu tidak ada artinya? Pertanyaan itu dijawab lewat bait-bait puisi dan obrolan anak-anak muda yang mengatakan bahwa tidak ada yang kalah atau menang dalam perjuangan melawan penindasan. Apa pun hasilnya, perjuangan mesti dilakukan agar kemanusiaan kita tidak hilang.
Sebagaimana judulnya, Sudan, Remember Us mengingatkan pada orang-orang Sudan dan dunia bahwa anak-anak muda Sudan telah melawan penindasan di negeri itu dengan amat gigih.