Oz Perkins mengadu aktor terunik dan ratu horor terkini di Hollywood dalam kisah pembunuh berantai, Longlegs (2024). Nicolas Cage hadir sebagai pembunuh berantai teraneh dengan prostetik mengerikan. Sementara itu, Maika Monroe menahbiskan statusnya sebagai ratu horor independen modern.
Di Oregon, pada tahun 1990-an, rentetan aksi pembunuhan yang membantai beberapa keluarga diwarnai beberapa kejanggalan. Pertama ialah tiadanya upaya pendobrakan ke dalam rumah korban dan pembunuhan menggunakan barang-barang yang ada di rumah korban. Namun, yang kedua, di rumah korban terdapat pesan bersandi yang ditulis oleh orang yang sama, yakni Longlegs (Cage).
Agen FBI bernama Lee Harker (Monroe) pun menyelidiki kasus ini bersama atasannya, Carter (Blair Underwood). Harker diutus Carter karena intuisi tajamnya yang menyerupai cenayang. Harker pun takpaham mengapa ia memiliki intuisi tajam tersebut, terutama saat membongkar kasus Longlegs. Sampai suatu hari, Harker dikirimi pesan langsung ke rumahnya oleh Longlegs.
Dalam film-film pembunuh berantai, fokus utama selalu tentang detektif yang mengungkap kata-kata sandi yang ditinggalkan sang pembunuh. Perkins pun memakai formula yang sama, tetapi ia menghadirkan ketegangan lain. Kehadiran sang pembunuh selalu disertai aura mistis ditambah dengan karakter utama, sang detektif, yang punya rasa gelisah tinggi kala menghadapi situasi menegangkan.
Walaupun pada awal film sosoknya disembunyikan, senjata utama Perkins dalam Longlegs bukanlah pengungkapannya. Sebab di pertengahan cerita, sosok aneh sang pembunuh bayaran telah ditampilkan secara gamblang. Alih-alih mengingat muka Cage, sosok aneh Longlegs justru membuat kita teringat kepada dua tokoh: Christopher Walken dengan prostetik berlebih atau lebih anehnya lagi, Donald Trump.
Jika memang ada pertanda bahwa Longlegs ialah implementasi dari Trump, film ini bisa menjadi senjata politik menarik di tengah pemilu Amerika Serikat. Dalam film ini, Longlegs bisa melakukan pembunuhan tanpa meninggalkan jejak: apakah dia menghasut atau menyihir pelaku pembunuhan? Trump pun dikenal dengan propagandanya yang kerap membuat massa menyerang lawan politiknya.
Bagaimanapun, penjabaran mengenai masalah ini terasa tipis. Perkins takbanyak berkutat dalam makna di balik rangkaian pembunuhan tersebut dan kaitannya di dunia nyata. Justru, senjata utamanya ialah dalam menampilkan ketegangan antara sang detektif dan sang pembunuh bayaran dengan serangkaian keabsurdan.
Untuk memaksimalkan senjata utamanya ini, ia butuh dua aktor utama yang kuat. Monroe punya rekam jejak apik dalam film-film horor/slasher. Untuk mengeluarkan ketegangan yang membuncah, rasanya, memilihnya sebagai Harker merupakan pilihan jitu. Film ini pun hidup dengan raut muka gelisah Monroe. Namun, dalam ekspresi datarnya, ia seperti manekin menakutkan yang diciptakan oleh Longlegs.
Sementara untuk sang pembunuh bayaran, rasanya Cage merupakan sosok yang tepat. Mukanya ditutup prostetik dan kita akan kaget jika hanya melihat parasnya saja bahwa itu seorang Nicolas Cage. Namun, saat ia berakting, kita tahu bahwa itu Cage dari teriakan-teriakan gilanya yang mengundang ketegangan absurd.
Untuk memperkaya film ini, Perkins menggunakan formula sinema klasik dengan beberapa kali menampilkan rasio kamera potret. Di balik tembakan-tembakan gelap mengkhawatirkan, kengerian utamanya hadir dalam penyuaraan detak jantung Harker sebagai tempo membangun teror. Berkali-kali kita diajak menahan napas dengan ketakutan adanya teror yang akan menimpa. Hal ini pun membuat seratus menit pun terasa lama, sebab kita sudah taknyaman dan ingin segera keluar dari teror ini dan menghela napas panjang.
Bagaimanapun, teror-teror tersebut memberikan adrenalin nikmat yang membuat kita terikat kencang di bangku penonton dan menelusuri perjalanan hingga akhir. Pengungkapan misteri Longlegs mungkin belum semasyhur The Silence of the Lambs (1991) atau Zodiac (2007), tetapi Perkins memberikan nuansa mistik berbeda. Apalagi, film-film pembunuh berantai yang apik seperti ini selalu menjadi hidangan nikmat bagi para pecandu mistis.